PENDAHULUAN
Islam datang ke Indonesia bukanlah merupakan suatu “power” yang membawa segala alat peperangan untuk menaklukkan bangsa Indonesia sehingga dipaksa melaksanakan ajaran Islam, atau datang dengan segala taktik dan strategi yang menentukan tujuan kemenangan yang gemilang sehingga dapat menekan penguasa untuk mempergunakan kewibawaannya sehingga dapat menerapkan ajaran Islam itu sebagai suatu keharusan yang mutlak.(Abdul Rochym,1983b:43)
Islam datang dan menerapkan ajaran dan pengaruhnya secara perlahan-lahan melalui dakwah-dakwah tentang keimanan, serta menerapkan unsur-unsur kebutuhan pelaksanaan ajaran agama Islam sebagai tempat bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa berupa masjid secara berbaur dengan bentuk-bentuk lama dari penggunaan yang sudah ada.
Salah satu aspek kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan peri kehidupan bangsa Indonesia adalah arsitektur. Arsitektur adalah salah satu segi dari kebudayaan yang menyentuh segi kemanusiaan secara langsung, yang dengan sendirinya mengandung faktor pelaksanaan kehidupan manusia.(Ismunandar, 1990:44)
Arsitektur merupakan tujuan utama dari hasil usaha orang-orang yang menciptakannya, serta merupakan suatu pemikiran yang sesuai dengan keadaan, tingkat kecakapan serta penghayatan masyarakat terhadap arsitektur tersebut. (H.J. Wibowo, 1986:34)
Arsitektur sangat erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia, baik berupa aktivitas jasmaniah, maupun aktivitas rohaniahnya. Antara lain sangat erat kaitannya dengan seni sebagai perwujudan aktivitas rohanian dari kehidupan manusia. Bersama-sama dengan seni rupa, seni suara, seni sastra, seni pahat, seni ukir, serta lain-lainnya.
Keindahan emprisif pada arsitektur memang banyak kesamaannya, dengan keindahan yang terdapat pada seni lukis, dan seni lain yang semuanya merupakan wujud dari perasaan dan emosi. Kepuasan terhadap arsitektur mula-mula bisa saja hanya sekedar berupa kekaguman akan bentuk lahiriah atau kekaguman akan bentuk luar saja, tapi justru kekaguman pertama itulah yang sangat menentukan setiap segi dari bagian-bagian pada arsitektur tersebut, yang ternyata melebihi kemampuan yang dapat disajikan oleh seni patung atau seni lukis. Bagian-bagian yang menjadi penunjang penampilan bentuk luar, ternyata harus serasi dengan kepuasan yang disebabkan oleh ketepatan fungsinya, sehingga dapat secara utuh mendukung keindahan arsitektur tersebut secara tuntas. Maka faktor kontruksi, bahan-bahan yang dipergunakan, serta keterampilan dalam pembuatan, merupakan segi yang saling berkaitan satu sama lainnya hingga menjadikan wujud karya arsitektur.(Eko Budihardjo, 1997b:130)
Arsitektur Islam dapat dilihat secara tersendiri yang nyata kehadirannya dalam sejarah, sebagai bagian yang terpenting dari sejarah kehidupan umat Islam. Pembatasan ini berkisar pada pembicaraan masalah-masalah yang bersifat teknis semata, serta sifat-sifat fisik arsitektur saja tanpa menyinggung masalah-masalah falsafah secara mendalam (Abdul Rochym, 1983a:2)
Penampilan arsitektur Islam secara fisik, ternyata sangat menarik perhatian, sebab muncul bentuk bangunan yang dihasilkan oleh penganut Islam. Bangunan tersebut bertujuan sebagai ungkapan tertinggi dari nilai-nilai luhur suatu kehidupan manusia yang juga melaksanakan ajaran syari’at Islam.
Pola penampilan masjid sangat dipengaruhi oleh lingkungan, daerah, serta adat istiadat kebiasaan. Penampilan bangunan merupakan hal yang bersifat tambahan, yaitu disaat Islam telah berkembang sedemikian majunya. Saat itu para pendukung Islam telah menemukan kemungkinan-kemungkinan guna melahirkan bangunan-bangunan yang megah dan tinggi nilainya. Kemungkinan itu merupakan hal yang penting sebagai syarat untuk menampilkan bangunan yang tinggi mutu dan nilainya, baik berupa kecakapan-kecakapan dalam masalah tehnik, maupun kemungkinan yang berupa kemampuan penyediaan anggarannya.(Abdul Rochym,1983a:3)
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara keseluruhan. Muncul masjid yang menggambarkan fungsi sosial yaitu masjid madarasah, sebagai tempat pendidikan agama Islam, masjid rumah sakit, masjid sekolah serta masjid dapur umum untuk tujuan kemanusiaan dalam rangka memberi makan secara tetap kepada fakir miskin, dan masjid kuburan.(Abdul Rochym,1983a:5)
Tumbuhnya bangunan masjid sebagai salah satu bagian dari arsitektur Jawa tentu mempunyai latar belakang yang menjadi alasan dari sejarah kelahirannya di Indonesia. Dari pemaparan diatas maka timbul berbagai permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Arsitektur Masjid Masa Peralihan Hindu-Islam di Jawa
Disaat Islam masuk, pola tradisional daerah telah berbaur dengan unsur-unsur Hindu yang kemudian menjadi landasan bagi perkembangan pengaruh Islam. Pola lama itu tetap bertahan dan setelah mengalami perbauran kembali dengan unsur-unsur Islam kemudian berkembang terus dengan suburnya. Jadi pada hakikatnya kebiasaan yang baru itu merupakan penerus dari kebiasaan lama yang disesuaikan dengan tuntutan kegunaannya.( Abdul Rochym, 1983b:53)
Agama Islam tidak membawa kebudayaan yang asli, sehingga agama tersebut banyak mewarisi kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Jadi boleh dikatakan bahwa Islam tidak menciptakan bentuk-bentuk baru dalam arsitektur Indonesia. Masjidnya memiliki denah persegi empat atau persegi panjang dengan penonjolan atau mihrab, hal ini karena pengaruh pendopo. Oleh karena itu, masjid yang muncul banyak beratap tradisional dan tidak memakai kubah.(Irawan Maryono, 1985:27)
Kekayaan arsitektur tradisional bangsa Indonesia cukup sebagai landasan utama, seperti halnya bentuk-bentuk bangunan masjid pada saat asal mula didirikannya dinegara kita, dimana wujud-wujud arsitektur daerah seperti atap berundak dan sebagainya ternyata dapat melayani arah pembangunan sarana keagamaan tersebut. Dengan bertambahnya pengetahuan dalam bidang teknik arsitektur, dapat menambah kekayaan penampilan sarana keagamaan masjid, sehingga para perencana dapat membaca berbagai fungsi yang menerap padanya. Dengan demikian, maka tercapailah harapan kegunaan masjid sebagai pusat segala kegiatan yang berpangkal dari ajaran agama Islam. (Abdul Rochym, 1983b:6)
Tataruang spatial dan bentuk fisik arsitektur tradisional selalu mengacu pada aspek-aspek fisik seperti adat, kepercayaan, agama;dan berpaling pada komponen alami seperti gunung dan laut, flora dan fauna. Karya arsitektur tradisional lazimnya merupakan gambar duniawi dari citra Surgawi. Atau dilihat sebagai anak alam yang muncul dari organisasi dari ibu bumi dan bapak langit.(Eko budiharto, 1987:8)
Karena pengaruh agama Hindu yang lebih dulu di Indonesia khususnya di Jawa, maka corak candi mulai menerap pada bangunan masjid. Ruang masjid di Jawa dibentuk pendopo, atapnya susun seperti pagoda:gapura yang berbentuk Candi Bentar, ukiran-ukiran gaya Hindu-Jawa:menara berbentuk candi. Semua unsur bangunan tersebut diatas menunjukkan penerapan tradisi Hindu-Indonesia didalam bentuknya yang baru, dalam masyarakat yang sedang mengadopsi kebudayaan Islam. Contoh yang terkenal umpamanya adalah menara masjid Kudus, kompleks masjid Sendang Sewu (di Pacitan kabupaten Lamongan), masjid Panjunan di Cirebon, masjid Mantingan di Jepara, masjid Agung Banten. Semua masjid-masjid tersebut dibangun dalam pertengahan abad ke-XVI dan abad ke XVII. Dari segi seni dekoratif, masjid-masjid tersebut diatas mempunyai masing-masing kekhasannya sendiri. Masjid Sendang Duwur dan Mantingan sangat menyolok unsur dekoratifnya yang masih jelas Hindu-Jawa. Ada kala-marga, pohon hidup, garuda.(Djauhari Sumintardjo, 1981:102)
Unsur lokal dalam arsitektur masjid di Indonesia kadang-kadang sangat kuat. Saat itu mulai pula terdapat masukan yang berupa ornamen yang diterapkan pada bangunan masjid, meskipun sifatnya masih sangat sederhana. Ujung-ujung atap masjid yang runcing biasanya dihiasi dengan semacam mahkota yang memang fungsinya hanyalah sebagai hiasan. Ukir-ukiran juga ditampilkan di daerah mihrab dan mimbarnya, disertai dengan hiasan huruf Arab yang berlafad-lafad. Masjid menempati arah barat dari alun-alun, dan dibangun bersebelahan dengan tempat kediaman raja atau keraton. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa penampilan masjid diawal perkembangannya mempunyai watak tradisional daerah dengan pembawaannya yang lugu dan sederhana.
Pada kenyataan perkembangan awal arsitektur masjid di Jawa bercorak seperti bangunan candi yang diserap sebagai penampilan yang berdasarkan tuntutan kegunaan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok dalam perkembangan Islam di Indonesia ini adalah kebudayaan lama yang diislamkan.
Perkembangan arsitektur masjid di Indonesia khususnya di Jawa memang bergerak setahap demi setahap. Segala unsur budaya memberikan sumbangan serta penambahan kekayaan wujud penampilan masjid tersebut. Masukan tersebut kemudian berakulturasi dan melekat pada arsitektur Islam di Indonesia.
Bentuk-bentuk penampilan masjid tentu saja tergantung pada daerah asal tempat perkembangan bangunan arsitektur masjid tersebut yang biasanya menampilkan ciri-ciri kahs suatu daerah. Daerah-daerah yang kurang mengalami masukan dari pengaruh Hindu biasanya lebih tajam menonjolkan keaslian daerah dibandingkan dengan daerah-daerah yang mengalami masukan pengaruh Hindu.
Latar belakang perkembangan Islam ini penting artinya, mengingat bahwa masjid sebagai bagian dari arsitektur Indonesia juga tergantung perkembangannya dari periode perkembangan Islam tersebut. Bahkan mungkin corak perkembangan masjid pada suatu saat tertentu akan memberikan kaitan yang jelas dari satu periode perkembangan Islam di Indonesia. Oleh karena itu maka penampilan masjid awal perkembangan dengan penampilan masjid dari periode-periode yang lainnya pada saat berikutnya sangat berbeda.
B. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Masa Selanjutnya Hingga Sekarang .
Suatu karya arsitektur hampir selalu, secara disadari ataupun tidak, mencerminkan cirri budaya dari kelompok manusia yang terlibat didalam proses penciptaannya. Sekurang-kurangnya akan tercermin dari tata nilai yang dianut.(Eko Budihardjo, 1997b:24)
Arsitektur Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sendirinya sesuai apresiasi masyarakat. Seperti apa timbulnya dan kemana berkembangnya akan dipengaruhi oleh peran arsitek dalam proses perkembangan secara nasional karena itu, arsitek tidak bisa memencilkan dirinya dalam identitas subyektif, tetapi harus meningkatkan peranannya untuk terlibat lebih luas.(Edi Supriyatna, 1996:43)
Dalam perkembangan arsitektur Islam selanjutnya, pada samping masjid ada kuburan. Meskipun tidak merubah fungsi dan tugasnya sebagai masjid. Disamping kiri dan kanan bangunan masjid terdapat kuburan-kuburan yang berkembang sebagai tempat pekuburan umum yang tidak terbatas pada makam tokoh yang dihormati saja. Sebagai kelengkapan dari kuburan-kuburan yang ada di sekitar masjid tersebut biasanya terdapat tembok pemisah dengan pintu-pintu gerbang tersendiri.
Arsitektur masjid pada masa ini merupakan penyempurnaan dari perkembangan terahir dari masuknya unsur-unsur Timur Tengah terutama pada bentuk Kubah, lengkung-lengkung serta menara. Faktor penyebabnya adalah adanya suasana kehidupan baru yang seolah-olah membuka kemungkinan untuk bangkit guna kembali berkarya sesudah mengalami beberapa saat kekosongan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan pembangunan.
Ciri dari penampilan fisik masjid pada saat itu adalah kubah dan menara yang kemudian mencapai puncak perkembangannya pada ahir tahun limah puluhan. Penerapan Kubah dengan lengkung maupun menara pada saat itu mulai disertai dengan pertimbangan yang lebih professional, dengan penekanan-penekanan pada wujud Kubah sebagai titik klimaks dari keseluruhan bangunan masjid tersebut. Unsur-unsur pendukung estetika bangunan agaknya telah mulai pula diperhatikan dalam perencanaannya, sehingga pada beberapa masjid tampak juga keserasian yang baik.(Abdul Rochym, 1983b:125)
Ada pula masjid-masjid yang sudah dibangun secara bertingkat, karena perkembangan pemikiran yang tuntas. Misalnya karena alasan hendak menerapkan fungsi yang menyeluruh dari segala kegiatan masjid yang harus dapat tertampung oleh ruangan-ruangan yang tersedia.
Pada saat itu juga sudah ada masjid yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan kantor guna melaksanakan kegiatan penunjang, serta ruangan-ruangan untuk perpustakaan, sarana kesehatan, ruang ceramah atau ruang pendidikan agama.
Penampilan secara keseluruhan, yang didukung oleh penempatan bagian-bagian bangunan serta elemen-elemennya yang diperhitungkan, memang baik dan serasi sehingga patut untuk dicontoh. Hal ini dapat tercapai karena bagian tadi telah ditetapkan berdasarkan cara-cara pembuatan bangunan menurut ketentuan fungsi dan estetikanya yang di Indonesia pada saat itu mulai diperhatikan.
Ruang dan waktu merupakan satu-satunya bentuk dimana kehidupan dibangun dan dari sinilah seni harus didirikan.(Cornelis van Deven, 1991:258)
Sementara itu perkembangan corak dan gaya masjid terus juga melaju. Penampilan bentuk menjadi lebih bervariasi, seperti terbukti dengan munculnya berbagai macam corak Kubah yang menonjol pada masjid-masjid didaerah. Contohnya di masjid Agung Banyuwangi yang memiliki Kubah kontruksi lipat, Kubah berbentuk kerang di masjid Agung Jember, Kubah bintang pada masjid Agung Semarang, atau bahkan Kubah setengah bola yang dominan dan megah pada masjid Istiqlal Jakarta dan pada masjid-masjid lain didaerah. Pola tradisional daerah bukanlah lagi satu-satunya cara untuk menampilkan bentuk tapi digali kembali hakikat bentuk intinya kemudian direncanakan kembali untuk menampilkan corak yang baru.
Perkembangan yang dimulai sejak awal tahun limah puluhan di abad kedua puluh ini cukup pesat kemajuannya, yaitu sejak munculnya bangunan-bangunan masjid dengan gaya kubah sampai saat peraliha ke zaman yang lebih modern. Pada saat itu mulai tampak pelepasan dari kebiasaan lama, untuk kemudian mulai menerapkan unsure-unsur luar sebagai bentuk baru tapi direncanakan dengan cermat. Sedangkan detail-detail bangunan sudah mulai menerapkan bahan-bahan baru. Demikian pula halnya dengan corak bangunan masjid, yang pada saat yang lalu senantiasa terikat oleh berbagai keharusan seperti fungsi formal atau fungsi semu (keramat), maka disaat itu sudah mulai adanya usaha pencapaian kearah fungsi yang sebenarnya, yaitu masjid sebagai pusat ibadah dan kegiatan Islam lainnya. Perkembangan yang dimulai sejak awal tahun limah puluhan di abad kedua puluh ini cukup pesat kemajuannya, yaitu sejak munculnya bangunan-bangunan masjid dengan gaya kubah sampai saat peraliha ke zaman yang lebih modern. Pada saat itu mulai tampak pelepasan dari kebiasaan lama, untuk kemudian mulai menerapkan unsur-unsur luar sebagai bentuk baru tapi direncanakan dengan cermat. Sedangkan detail-detail bangunan sudah mulai menerapkan bahan-bahan baru. Demikian pula halnya dengan corak bangunan masjid, yang pada saat yang lalu senantiasa terikat oleh berbagai keharusan seperti fungsi formal atau fungsi semu (keramat), maka disaat itu sudah mulai adanya usaha pencapaian kearah fungsi yang sebenarnya, yaitu masjid sebagai pusat ibadah dan kegiatan Islam lainnya.
Pada penampilannya dizaman mutakhir ini penerapan unsur-unsur pengeruh dari luar itu (misalnya dari Timur Tengah) meskipun masih diterapkan, tapi pemakaiannya sebagai bagian dari bangunan masjid sudah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang seksama berdasarkan ketentuan-ketentuan estetika untuk kepentingan bangunan.
Karena berkembangnya fungsi yang mendekati aslinya dari masjid-masjid tersebut maka ukuran masjid pun menjadi lebih besar, tidak hanya sekedar untuk mencapai kemegahan tapi terutama karena merupakan perwujudan dari satuan-satuan ruang yang perlu disajikan untuk melayani kebutuhan dalam rangka kegiatan sesuai dengan ajaran agama Islam, sehingga terdapat masjid yang bertingkat-tingkat.
Disaat masa perkembangan tersebut corak semakin berganti, sehingga satu gaya tertentu diganti oleh gaya lain yang lebih baru. Gaya dengan corak kubah tidak lagi merupakan hal yang menjadi patokan dalam pembangunan masjid, tapi hanyalah merupakan unsur yang dipertimbangkan sebagai elemen dari kesatuan bentuk.
Pola ornamentik senantiasa terdapat pada bangunan masjid dimasa lampau, yaitu disaat kesempurnaan bangunan masih tersalur melalui ekspresi yang emosional dari bentuk ukiran dan hiasan hanyalah merupakan gaya yang telah berlalu. Kedudukannya digantikan dengan unsur-unsur bagian dari bangunan berupa kelengkapan dan detail seperti jendela, pintu, mihrab dan perabotan lain yang sekarang tampil dalam wujud-wujud yang dekoratif sifatnya, artinya semua bidang, bentuk bulat, warna dapat berbicara sebagai unsur dekoratif tersebut. Bahkan seluruh bagian itu sudah merupakan wadah dari kessan-kesan demokratif dalam menyempurnakan penampilan dari bangunan mesjid tersebut.
Meskipun tidak mandiri, tetapi melalui struktur, tekstur, kolom, dan bentuk-bentuk yang ada pada banguna mesjid itu telah menjadi unsur dekoratif. Sama halnya dengan bagina lain dari banguna mesjid, maka segi dekoratif in merupakan elemen suatu kesatuan dari keseluruhan.
Bahkan kelengkapan masjid yang biasanya ramai dengan hiasan-hiasan, saat itu mulai melepaskan kebiasaan tersebut misalnya mimbar.
Intensitas cahaya yang banyak di Indonesia ini kemudian diperhitungkan pula sebagai unsur pendukung yang sifatnya dekoratif, misalnya melalui pola kerawang yang tampil juga sebagai elemen yang cukup indah.
Dari penjelasan di atas arsitektur pembangunan masjid-masjid di zaman yang lebih mutakhir ini tentunya terdapat akibat-akibat yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan masjid yang ada di daerah-daerah. Meskipun masyarakat umum mempunyai lingkungan dan kondisi daerah akan tetapi pengaruh-pengaruh terutama berdasarkan pengalaman visual biasanya cepat masuk ke kehidupannya.
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara keseluruhan.
PENUTUP
- Kesimpulan
Karena pengaruh agama Hindu yang lebih dulu di Indonesia khususnya di Jawa, maka corak candi mulai menerap pada bangunan masjid. Ruang masjid di Jawa dibentuk pendopo, atapnya susun seperti pagoda:gapura yang berbentuk Candi Bentar, ukiran-ukiran gaya Hindu-Jawa:menara berbentuk candi. Unsur lokal dalam arsitektur masjid di Indonesia kadang-kadang sangat kuat. Saat itu mulai pula terdapat masukan yang berupa ornamen yang diterapkan pada bangunan masjid, meskipun sifatnya masih sangat sederhana. Ujung-ujung atap masjid yang runcing biasanya dihiasi dengan semacam mahkota yang memang fungsinya hanyalah sebagai hiasan. Ukir-ukiran juga ditampilkan di daerah mihrab dan mimbarnya, disertai dengan hiasan huruf Arab yang berlafad-lafad. Masjid menempati arah barat dari alun-alun, dan dibangun bersebelahan dengan tempat kediaman raja atau keraton. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa penampilan masjid diawal perkembangannya mempunyai watak tradisional daerah dengan pembawaannya yang lugu dan sederhana.
Pada kenyataan perkembangan awal arsitektur masjid di Jawa bercorak seperti bangunan candi yang diserap sebagai penampilan yang berdasarkan tuntutan kegunaan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan yang menjadi pokok dalam perkembangan Islam di Indonesia ini adalah kebudayaan lama yang diislamkan.
Perkembangan arsitektur masjid di Indonesia khususnya di Jawa memang bergerak setahap demi setahap. Segala unsur budaya memberikan sumbangan serta penambahan kekayaan wujud penampilan masjid tersebut. Masukan tersebut kemudian berakulturasi dan melekat pada arsitektur Islam di Indonesia.
Dalam perkembangan arsitektur Islam selanjutnya, pada samping masjid ada kuburan. Meskipun tidak merubah fungsi dan tugasnya sebagai masjid. Disamping kiri dan kanan bangunan masjid terdapat kuburan-kuburan yang berkembang sebagai tempat pekuburan umum yang tidak terbatas pada makam tokoh yang dihormati saja. Sebagai kelengkapan dari kuburan-kuburan yang ada di sekitar masjid tersebut biasanya terdapat tembok pemisah dengan pintu-pintu gerbang tersendiri.
Arsitektur masjid pada masa ini merupakan penyempurnaan dari perkembangan terahir dari masuknya unsur-unsur Timur Tengah terutama pada bentuk Kubah, lengkung-lengkung serta menara. Faktor penyebabnya adalah adanya suasana kehidupan baru yang seolah-olah membuka kemungkinan untuk bangkit guna kembali berkarya sesudah mengalami beberapa saat kekosongan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan pembangunan.
Ada pula masjid-masjid yang sudah dibangun secara bertingkat, karena perkembangan pemikiran yang tuntas. Misalnya karena alasan hendak menerapkan fungsi yang menyeluruh dari segala kegiatan masjid yang harus dapat tertampung oleh ruangan-ruangan yang tersedia.
Pada saat itu juga sudah ada masjid yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan kantor guna melaksanakan kegiatan penunjang, serta ruangan-ruangan untuk perpustakaan, sarana kesehatan, ruang ceramah atau ruang pendidikan agama.
Sementara itu perkembangan corak dan gaya masjid terus juga melaju. Penampilan bentuk menjadi lebih bervariasi, seperti terbukti dengan munculnya berbagai macam corak Kubah yang menonjol pada masjid-masjid didaerah. Contohnya di masjid Agung Banyuwangi yang memiliki Kubah kontruksi lipat, Kubah berbentuk kerang di masjid Agung Jember, Kubah bintang pada masjid Agung Semarang, atau bahkan Kubah setengah bola yang dominan dan megah pada masjid Istiqlal Jakarta dan pada masjid-masjid lain didaerah. Pola tradisional daerah bukanlah lagi satu-satunya cara untuk menampilkan bentuk tapi digali kembali hakikat bentuk intinya kemudian direncanakan kembali untuk menampilkan corak yang baru.
Pada pokoknya tujuan utama masjid sejak asal mula terjadi sampai bentuk yang lebih mewah tetap tak berubah, yakni berupa bangunan yang diperlukan untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara keseluruhan.
Pola ornamentik senantiasa terdapat pada bangunan masjid dimasa lampau, yaitu disaat kesempurnaan bangunan masih tersalur melalui ekspresi yang emosional dari bentuk ukiran dan hiasan hanyalah merupakan gaya yang telah berlalu. Kedudukannya digantikan dengan unsur-unsur bagian dari bangunan berupa kelengkapan dan detail seperti jendela, pintu, mihrab dan perabotan lain yang sekarang tampil dalam wujud-wujud yang dekoratif sifatnya, artinya semua bidang, bentuk bulat, warna dapat berbicara sebagai unsur dekoratif tersebut. Bahkan seluruh bagian itu sudah merupakan wadah dari kessan-kesan demokratif dalam menyempurnakan penampilan dari bangunan mesjid tersebut.
Meskipun tidak mandiri, tetapi melalui struktur, tekstur, kolom, dan bentuk-bentuk yang ada pada banguna mesjid itu telah menjadi unsur dekoratif. Sama halnya dengan bagina lain dari banguna mesjid, maka segi dekoratif in merupakan elemen suatu kesatuan dari keseluruhan.
Bahkan kelengkapan masjid yang biasanya ramai dengan hiasan-hiasan, saat itu mulai melepaskan kebiasaan tersebut misalnya mimbar.
Intensitas cahaya yang banyak di Indonesia ini kemudian diperhitungkan pula sebagai unsur pendukung yang sifatnya dekoratif, misalnya melalui pola kerawang yang tampil juga sebagai elemen yang cukup indah.
Dengan demikian keindahan masjid tidak terletak pada unsur-unsur tambahan sepeti banyaknya ornament dan hiasan yang meriah tapi tampil dari hasil perencanaan yang seksama dalam memperhitungkan kedudukan bagian.
Dari penjelasan di atas arsitektur pembangunan masjid-masjid di zaman yang lebih mutakhir ini tentunya terdapat akibat-akibat yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan masjid yang ada di daerah-daerah. Meskipun masyarakat umum mempunyai lingkungan dan kondisi daerah akan tetapi pengaruh-pengaruh terutama berdasarkan pengalaman visual biasanya cepat masuk ke kehidupannya.
0 komentar:
Posting Komentar